-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
JURNAL PENA INDONESIA
Jurnal Bahasa dan Sastra
Indonesia serta pengajarannya
Peningkatan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran bahasa
Indonesia dalam bidang karang-mengarang dengan diterapkannya pembelajaran
terbimbing pada siswa kelas VII SMP
Santo Yosef.
Naning Utami
SMP Santo Yosef (MGMP Surabaya Selatan)
Telepon : 085101387929
Abstrak
Pelajaran
mengarang sebenarnya sangat penting diberikan kepada murid untuk melatih
menggunakan bahasa secara aktif. Sekolah kita pada umumnya agak mengabaikan
pelajaran mengarang. Materi ujian yang bersifat teoritis dapat menimbulkan
motivasi guru bahasa mengajarkan materi mengarang hanya untuk dapat menjawab
soal-soal ujian, sementara aspek keterampilan diabaikan. Di samping hal-hal
tersebut di atas ada asumsi sebagian guru yang menganggap tugas mengarang yang
diberikan kepada siswa terlalu memberatkan atau tugas itu terlalu berat untuk
siswa, sehingga ia merasa kasihan memberikan beban berat tersebut kepada
siswanya. Berdasarkan paparan tersebut di atas maka peneliti ingin mencoba
melakukan penelitian dengan judul “Meningkatkan Prestasi Belajar Mengarang
Bahasa Indonesia dengan Metode Pembelajaran Terbimbing Pada Siswa Kelas VII SMP
Santo Yosef Surbaya”.
Kata
kunci : Mengarang itu penting.
PENDAHULUAN
Peningkatan
prestasi belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia dalam bidang
karang-mengarang dengan diterapkannya pembelajaran terbimbing pada siswa
kelas VII SMP Santo Yosef.
Pelajaran
mengarang sebenarnya sangat penting diberikan kepada murid untuk melatih
menggunakan bahasa secara aktif. Di samping itu pengajaran mengarang di
dalamnya secara otomatis mencakup banyak unsur kebahasaan termasuk kosa kata
dan keterampilan penggunaan bahasa itu sendiri dalam bentuk bahasa tulis. Akan
tetapi dalam hal ini guru bahasa Indonesia dihadapkan pada dua masalah yang
sangat dilematis. Di satu sisi guru bahasa harus dapat menyelesaikan target
kurikulum yang harus dicapai dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Sementara
di sisi lain porsi waktu yang disediakan untuk pelajaran mengarang relatif
terbatas, padahal untuk pelajaran mengarang seharusnya dibutuhkan waktu yang
cukup panjang, karena diperlukan latihan-latihan yang cukup untuk memberikan
siswa dalam karang-mengarang. Dari dua persoalan tersebut kiranya dibutuhkan
kreatifitas guru untuk mengatur sedemikian rupa sehingga materi pelajaran
mengarang dapat diberikan semaksimal mungkin dengan tidak mengesampingkan
materi yang lain.
Sekolah kita pada umumnya agak mengabaikan pelajaran mengarang.
Ada beberapa faktor penyebabnya yaitu, (1) sistem ujian yang biasanya
menjabarkan soal-soal yang sebagian besar besifat teoritis, (2) kelas yang
terlalu besar dengan jumlah murid berkisar antara tiga puluh enam sampai empat
puluh dua orang.
Materi ujian yang bersifat teoritis dapat menimbulkan motivasi
guru bahasa mengajarkan materi mengarang hanya untuk dapat menjawab soal-soal
ujian, sementara aspek keterampilan diabaikan. Sedangkan dengan kelas yang
besar konsekuensi biasanya guru enggan memberikan pelajaran mengarang, karena
ia harus memeriksa karangan murid-muridnya yang berjumlah mencapai empat puluh dua
lembar, kadang hal itu masih harus berhadapan dengan tulisan-tulisan siswa yang
notabene sulit dibaca. Belum lagi ia harus mengajar lebih dari satu kelas,
berarti yang harus diperiksa empat puluh kali sekian lembar karangan. Oleh
karena itu, tidak jarang guru yang menyuruh muridnya mengarang hanya sebulan
sekali atau bahkan sampai berbulan-bulan.
Di samping hal-hal tersebut di atas ada asumsi sebagian guru yang
menganggap tugas mengarang yang diberikan kepada siswa terlalu memberatkan atau
tugas itu terlalu berat untuk siswa, sehingga ia merasa kasihan memberikan
beban berat tersebut kepada siswanya. Ia terlalu pesimis dengan kemampuan
muridnya. Asumsi tersebut tidak bisa dibenarkan, karena justru dengan seringnya
latihan-latihan yang diberikan akan membuat siswa terbiasa dengan hal itu. Kita
tahu bahwa ketrampilan berbahasa akan dapat dicapai dengan baik bila
dibiasakan. Kalau guru selalu dihantui oleh perasaan ini dan itu, bagaimana
muridnya akan terbiasa menggunakan bahasa dengan sebaik-baiknya?
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu
masalah sebagai berikut:1. Seberapa
jauh peningkatan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia
dalam bidang karang-mengarang dengan diterapkannya pembelajaran terbimbing pada
siswa kelas VII SMP Santo Yosef?
2. Bagaimanakah pengaruh model pembelajaran terbimbing terhadap
motivasi belajar bahasa Indonesia dalam bidang karang-mengarang siswa kelas VII
SMP Santo Yosef Surabaya?
Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui
peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkannya pembelajaran
terbimbing pada siswa kelas VII SMP Santo Yosef Surabaya.
2. Mengetahui
pengaruh motivasi belajar siswa setelah diterapkan pembelajaran terbimbing pada
siswa kelas VII SMP Santo Yosef Surabaya.
Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi:
1. Sekolah sebagai
penentu kebijakan dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya
pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
2. Guru, sebagai
bahan pertimbangan dalam menentukan metode pembelajaran yang dapat memberikan
manfaat bagi siswa.
Temuan Penelitian
Prosedur PMC berdasarkan GWP dari sklus I sampai IV mengalami
perubahan dan pengembangan. Perefleksian oleh peneliti dan praktisi
menghasilkan pengembangan berkitan dengan (1) pemberian model bacaan, (2)
penyediaan dan pemodifikasian media chart, (3) pengubahan urutan pemberian
pengubahan dan pengerjaan chart, dan (4) pengubahan strategi belajar. Sebagai
contoh setelah dilakukan pelaksanaan tindakan siklus I diperoleh temuan
sebagaimana terlihat pada tabel 3. Poses memahamkan empat elemen SC dalam 4
pertemuan dengan membaca MC yang sama menyebabkan pemahaman dan kemampuan
menulis siswa terpotong-potong. Karena itu, pda siklus II dan III proses
pembelajaran dilakukan dalam dua tahap. Untuk kebutuhan praktis juga maka
ringkasan proses tindakan ini tidak akan dijelaskan lebih lanjut dan hanya akan
diruraikan siklus I, III dan IV saja sebagaimana terlihat pada tabel 3, 4 dan
tabel 5 di bawah ini. Namun, penyusunan dan pelaksanaan rancangan tindakan yang
dilakukan didasarkan pada fakta empiris dan hasil refleksi setiap siklus.
Masing-masing siklus mendasari perubahan dan perencanaan pada siklus
berikutnya. Pada siklus IV siswa sudah dianggap mampu menulis cerita melalui
prosedur PMC berdasarkan GWP yang telah mengalami penyempurnaan berdasarkan
temuan fakta dan refleksi siklus I sampai II.
PEMBAHASAN Guided Writing
Procedure (GWP)
Pemahaman dan Penentuan Tema Cerita
Paparan hasil PMC berdasarkan GWP di fokuskan pada deskripsi yang
berkaitan dengan kemampuan menentukan SC meliputi (1) tema cerita, (2) pelaku
dan perwatakan, (3) latar cerita, dan (4) penyusunan rangkaian cerita. Perkembangan
kemampuan ini terlihat dari siklus I sampai siklus IV dengan gambaran hasil
sebagai berikut.
Pada siklus I sampai IV ada kecenderungan bahwa siswa sudah
memahami penggarapan SC melalui kegiatan membaca model dan menelaah penggarapan
SC dalam model. Ini menbuktikan adanya internalisasi siswa dengan teks bacaan.
Kemampuan menentukan tema cerita dan pengembangannya pada siklus I
terlihat masih meniru model (33,33%. Peniruan dilakukan dengan varisasi yang
berbeda. Ada siswa yang meniru tema secara utuh dengan tema, judul, penokohan,
latar, danrangakian cerita yang sama sebagaimana terlihat dalam data berikut.
“Lingkungan Sekolah”
Pada hari sabtu anak kelas 7 ditugaskan oleh ibu guru untuk kerja
bakti … Ajat adalah anak terbandel di kelasnya… Pada waktu kerja Ajlvin
mengganggu Rutha …. Alvin mendengarkan Pak Suafi waktu pelajaran Agma. 2 jam
sesudah pelajaran Agama Alvin sadar … ia menyesal atas perbuatannya. (HM1-Wh).
Dari ringkasan cerita di atas terlihat siswa menulis cerita dengan
tema, penokohan, latar, dan rangkaian cerita denganmeniru model cerita 1 (MC1)
sebagai berikut.
“Di kalangan teman-temannya Imron terkenal bandel … mereka harus
bekerja membersihkan lingkungan sekolah … dengan geramnya Imron mencabut bunga
mawar yang di tanam Reni … guru Agama yaitu Pak Mustaqim menjelaskan tentang
tata cara bergaul yang baik … tanpa diduga Imron maju ke depan kelas.
“Teman-teman maafkan saya” …
Meskipun ada peniruan, 57, 14% siswa dapat menentukan tema
berdasarkan ide sendiri seperti terlihat dalam cluster berikut walaupun masih
dalam bentuk yang sederhana.
Saya pergi
liburan naik kelas
Awal Piknik ke Jakarta Akhir
Saya dan saudara
pergi ke Ancol
Isi
Saya pulang bersama
Makan pop
mie di Ancol saya berenang saya juga pergi ke Sea World.
Cerita-cerita lain “Pergi ke Kebun Binatang” (HM1-Ye) cerita
berkisah tentang pengalaman siswa pergi rekreasi ke kebun binatang bersama
teman-temannya dan guru-guru. Cerita disisipi dengan rangkaian peristiwa yang
berkaitan dengan tokoh antagonis. Walaupun tema dan alur cerita berbeda namun
siswa menulis cerita dengan meniru penggarapan pelaku. Begitu juga dengan “Anak
Yang Sombong (HM1-An) dan Piknik ke Jakarta (HM1-Hy) walaupun bercerita tentang
pengalaman berdarmasiwasata atupun situasi saat mendapat teman baru namun
selalu disertai perwatakan pelaku yang nakal atau bandel lain halnya dengan
cerita “Keajaiban (HM1-Gt) dan “Perlawanan Masyarakat Banten terhadap Penjajah
(HM1-Sm) masing-masing siswa mengembangkan ide dan fantasinya dengan baik.
HM1-Gt mengisahkan tentang keajaiban yang ditimbulkan oleh sebuah pedang ajaib
yang bisa menghilangkan kutukan yang diterima seorang putri. Sementara siswa
yang menulis HM1-Sm mencoba menuangkan pengetahuan sejarah yang dimilikinya
dengan menambahkan unsur imajinasi yang membuat cerita menjadi lebih padu.
Terdapatnya cerita seperti di atas menunjukan bahwa dalam menulis
cerita siswa dipengaruhi olehhasil kegiatan membaca dan juga didasarkan pada
pengetahuan dan pengalaman yang dipadu dengan kemampuan mengembangkan
imajinasinya sebagaimana terlihat dalam data berikut.
Doom 2 sedang mengendarai mobil antik tiba-tiba dihadang oleh
monster berkepala banteng … Doom 2
terperosik ke ruamh tua yang ada tentara Nazi. Nazi adalah tentara komunis
Jerman Hitler Adolf (penulisan Hitler Adolf diperbaiki siswa pd tahap refisi
(HM1 – Al)).
Sementara itu 4,76% siswa telah dpat menulis cerita berdasarkan
ide sendiri. Namun, isi cerita berdasarkan ide sendiri. Namun, isi cerita yang
ditulis ternyata tidak memiliki kesesuaian isi dengan tema yang telah mereka
tentukan. Cerita-cerita tersebut antara lain “Pagi Yang Cerah” (HM1 –Ag) dan
“Menanam Bersama di Sekolah” (HM1-Sk). Dalam cerita itu siswa mencoba
mengungkapkan pengalaman mereka berkaitan dengan kisah yang dialami di
lingkungan keluarga dan teman.
Tema cerita yang ditulis siswa pda siklus I sampai IV antara lain
lingkungan keluarga, teman sekolah, dan teman bermain, keindahan alam,
berteman, dan cara-cara mengahadapi masalah manusiawi. Juga ditemukan cerita
sejarah, fantasi, binatang, cerita horror, petualangan, dan misteri seperti
terlihat dalam data berikut.
“Aryati sedang bermain di laut, dia bersedih karena berambut hitam
… dia ingin berambut pirang. Tiba-tiba datang seorang peri dan berkata”jangan
bersedih gadis kecil. Ini aku beri mahkota …. (HM 2-Nn).
Cerita fantasi dalam HM 2-Nn menggambarkan kemampuan siswa
mengembangkan imajinasinya. Siswa juga mampu menggambarkan bagaimana memberi
dan menerima kasih sayang terhadap binatang serta kisah binatang yang
seolah-olah berperilaku seperti manusia berikut ini.
“Pada suatu waktu di rumah, tikus desa dan tikus kota sedang
menyapu halaman … tikus kaya memamerkan kekayaannya… (HM 3-An).
Dalam modeling (imitating written sample) (Myers dan Grey dalam
Norton, 1994: 144), siswa melakukan kegiatan membaca model tulisan. Banyak
pendekatan pembelajaran menulis menyediakan model tulisan orang dewasa sebagai
model tulisan bagi anak. Model cerita diberikan kepada anak beberapa kali
sampai pada akhirnya anak dapat menulis cerita berdasarkan model yang dibuatnya
sendiri (Blakburn, 1982). Pada awalnya anak dapat menulis cerita berdasarkan
peniruan pada model yang diterapkan dalam variasi bahasa sendiri, menulis
cerita dengan meniru penokohan yang ada dalam cerita, atau meniru
pengorganisasian tulisan model dengan mengganti topoiknya sampai pada akhirnya
dapat menulis cerita berdasarkan modelnya sendiri. Hal ini dilakukan sebelum
memiliki keterampilan untuk berpikir terus-menerus. Kemampuan siswa menentukan
tema cerita terlihat dalam tabel berikut.
Kemampuan
Siswa Menentukan Penggarapan Tema Cerita
No
|
Kategori
Kemampuan
|
Jumlah
Siswa (%)
|
|||
Siklus I
|
Siklus II
|
Siklus III
|
Siklus IV
|
||
1
|
Meniru Model
|
33,33
|
25,00
|
0,00
|
0,00
|
2
|
Menceritakan kembali isi cerita yang pernah dibaca
|
4,76
|
10,00
|
5,56
|
0,00
|
3
|
Tema tidak sesuai dengan isi karangan
|
4,76
|
0,00
|
0,00
|
0,00
|
4
|
Ide sendiri, isis cerita sesuai tema
|
57,14
|
65,00
|
94,00
|
100,00
|
2. Kemampuan
Penggarapan Pelaku dan Perwatakan
Berdasarkan hasil karangan siswa, diperoleh
data bahwa 9,52% siswa menetukan variasi pelaku dan perwatakannya hanya dengan
menyebutkan pelaku yang antagonis dan protagonis tanpa memberikan penjelasan
dan penggambaran wataknya. Namun pada siklus ini pada dasarkan 19,05% siswa
menggambarkan perwatakan pelaku dalam MC yang dibaca siswa (47,62%) terlihat
dalam data berikut.
“Pada waktu di kelas Titin mencuri penggaris karena Titin dendam
kepada Rina (HM1-An).
Sifat tokoh Titin dlam HM1-An sama
dengan tokoh Imron dalam model cerita I (MC 1) beriktu ini.
“Di kalangan teman-temannya Imron tekenal bandel….. Seorang teman
purtinya menangis terisak-isak karena penggarisnya disembunyikan Imron.”
Pada dasarnya adanya penokohan
dalam cerita yang ditulis siswa didasarkan pada pemahaman mereka bahwa dalam
cerita selain tokoh baik ada juga tokoh yang jahat/tidak baik. Siswa
menjelaskannya melalui dialog dan lakuan (gambaran perilaku). Sebagaimana
terlihat dalam data berikut.
“Laila menasehti Ani …. Ani membantah, ia bilang untuk apa
bertanya. Laila pun tak mau kalah … Ani pun mengambil pengaris dan
memukulkannya kepada Laila. Laila pun menangis. (HM 3-E1).”
Hal yang sama telihat dalam HM1-Ye
berikut ini.
“Apakah kamu mau memberikan makanan untuk kera itu?, Tanya Titi.
“Apa, aku memberimu makanan kera? Ha … ha … ha ….” Jangan begitu, kalau tidak
mau memberi ya sudah.” ….. lalu Didi memukul Titi…… (HM 2-Ye).
Perwatakan pelaku juga dilakukan
siswa melalui penggambaran penampilan pelaku berikut ini.
“Putri akan dinikahkan dengan pangeran, sungguh pasangan yang cocok.
Purti cantik dan anggun dan juga baik hati dan pangeran tampan juga gagah
perkasa. (HM 1-Yt).
Pada siklus II kemampuan siswa
menggambarkan watak pelaku melalui keadaan fisik dan lingkungannya dapat
terlihat dalam cerita Hantu Jadi-jadian (HM2-Gt) berikut ini.
“Pak Bambang tiba-tiba mencium bau belerang ….. di balik pepohonan
tiba-tiba muncul orang laki-laki berbaju putih berambut panjang, matanya
berwarna hitam…… laki-laki itu adalah hantu jadi-jadian yang dibunuh di hutan
…… (HM 2-Gt).
Melalui penampilan yang
digambarkan, siswa ingin mengungkapkan bahwa hantu jadi-jadian adalah sosok
yang menakutkan sebagaimana juga terlihat dalam cuplikan berikut.
“ ………. Tanganya panjanng, kukunya panjang wajahnya seperti
monster, rambutnya panjang matanya merah, dan tidak berkaki……… (HM 3-As).
Selain watak tokoh yang baik dan
jahat, siswa menggambarkan tokoh penakut melalui dialog seperti terlihat dalam
data berikut.
“Rudi pun mencari dombanya kesemak-semak bertemu laki-laki bermata
seram…..” I….i ….iya,” kata Rudi ….. “Tu ….. tunggu, apa kesalahan saya hingga
anda akan mengubah saya menjadi Domba”, Kata Rudi (HM3-Krt).
Pada siklus IV data karangan siswa
menunjukkan adanya penggambaran watak pelaku melalui hal-hal yang dipikirkan
pelaku sebagai berikut.
“Saya sekarang tahu bahwa sudah biasa menabung. Tapi yang saya
bingungkan mengapa aku menabung untuk apa uangnya ya?”Waduh saya kok lupa bahwa
saya harus menjemput ayah ke airport”, kata saya dalam hati (HM 4-Nn).
Namun siswa tidak tahu kalau dia
melakukan penggarapan dengan cara di atas karena sati kegiatan konferensi
dilakukan diketahui ia menulisnya. Adapun perkembangan kemampuan siswa
menentukan pelaku dan perwatakannya dapat dilihat dalam table 7 berikut.
Kemampuan
Siswa Menentukan Penggarapan Pelaku dan Penokohan
No
|
Kategori
|
Jumlah
Siswa (%)
|
|||
Siklus I
|
Siklus II
|
Siklus III
|
Siklus IV
|
||
1
|
Tidak ada penggarapan perwatakan
pelaku. Hanya ada pelaku yang baik dan jahat.
|
9,52
|
5,00
|
0,00
|
0,00
|
2
|
Penggarapan perwatakan pelaku
dengan meniru model
|
47,62
|
20,00
|
0,00
|
0,00
|
3
|
Melalui pengungkapan hal-hal
yang diucapkan pelaku (dialog).
|
23,81
|
25,00
|
33,33
|
50,00
|
4
|
Melalui penggambaran perilaku
tokoh (lakuan ).
|
19,05
|
35,00
|
38,89
|
43,75
|
5
|
Melalui penggambaran fisik
pelaku/lingkungan tempat pelaku berada.
|
0,00
|
15,00
|
16,67
|
0,00
|
6
|
Melalui penggambaran tentang
hal-hal yang dipikirkan pelaku.
|
0,00
|
0,00
|
11,11
|
6,25
|
3. Kemampuan Penggarapan Latar Cerita
Berdasarkan hasil karangan siswa
diperoleh temuan bahwa siswa sudah memiliki pemahaman latar cerita dan
kemampuan menggarap latar cerita dalam cerita yang ditulisnya. Berkaitan dengan
latar cerita, penggarapan dibedakan menjadi tiga yakni latar tempat, waktu, dan
suasana cerita. Penggarapan latar tempat dilakukan siswa dengan menggambarkan
keadaan tempat sesuai dengan tema cerita, ada tempat yang nyata ada juga yang
unik/fiktif seperti telihat dalam data berikut.
“Ada sebuah rumah yang mewah dan bertingkat. Rumah itu dihuni oleh
Amir ….. (HM1-Ye).
Kata “mewah” dan “bertingkat”
menunjukan latar tempat berupa sebuah rumah dalam keadaan yang sesuai dengan
apa yang siswa maksudkan, bukanlah rumah yang gubuk yang kecil tetapi sangat
mewah. Untuk jenis cerita fantasi siswa menetapkan latar tempat secara
unik/fiktif seperti dalam data berikut.
“Pada jaman dahulu ada sebuahpuri yang megah. Puri tersebut
dinamakan istama mebe (HM1-Nn).
Penentuan “Puri” dan “mebel”
menunjukan imajinasi dan kreativitas siwa dalam menentukan latar tempat sesuai
cerita yang ditulisnya.
Sementara itu menentukan latar
waktu terbagi menjadi periode waktu masa sekarang dengan variasi periode waktu
pagi hari, siang, dan sore/malam hari.
“Hari berganti hari, minggu berganti minggu,
bulan berganti bulan, kini Andi dan Suci telh besar (HM1-Krt).
“Pada hari Sabtu sepulang dari Gresik saya pulang ke Jakarta. Saya
berangkat pada siang hari ….. (HM1-Hy).
Lebih lengkapnya untuk latar waktu
masa sekarang dengan periode di atas dapat dilihat dalam data berikut.
“Pada hari Minggu saya pergi ke kebun binatang dan ke Kenjeran.
Berangkatnya jam 08.00 pagi (HM3-Hy).
“Pada malam hari saat malam bulan purnama tiba-tiba telur jatuh di
atas tikus (HM3-Rn).
“Pada hari Kamis malam Jum’at Kliwon ada sebuah benda jatuh dari
langit….. (MH3-As).
Didasarkan pada tema-tema
fantastis yang biasanya terjadi di masa lampau maka siwa menggunakan latar waktu
sebagai berikut.
“Pada jaman dahulu ada sebuah puri namanya puri mebel (HM2-Nn).
“Pada jaman dahulu kala hewan dapat berbicara. Ada hewan yang
bermusuhan yaitu elang dan tikus (HM3-Yg).
Berkaitan dengan penentuan suasana
cerita, dari siklus I sampai IV terlihat adanya suasana cerita yang variatf.
Variasi suasana penetapan cerita tersebut meliputi cerita dengan suasana
menyedihkan, menggembirakan, menakutkan, menjengkelkan, dan misterius.
Kemampuan siswa menentukan latar cerita ini dapat dilihat dalam tabel 8.
Kemampuan
Siswa Menetukan Penggarapan Latar Cerita
No
|
Kategori Kemampuan
|
Jumlah Siswa (%)
|
|||
Siklus I
|
Siklus II
|
Siklus
III
|
Siklus IV
|
||
1
|
Tempat
1.1 Nyata
1.2 Unik/Fiktif
|
76,47
9,52
90,48
23,53
|
85.00
25.00
75.00
15.00
|
89.47
33.33
66.67
10.53
|
97.74
0.00
100
5.26
|
2
|
Periode Waktu
2.2 Masa
sekarang: pagi, siang, sore hari
2.2 Zaman
dahulu
2.3 Masa
yang akan datang
|
76,19
19,05
4,76
|
66.67
27.78
5.56
|
84.21
15.79
0
|
94.12
5.88
0
|
3
|
Suasana
3.1 Sedih
3.2 Gembira
3.3 Menakutkan
3.4. Misterius
3.5 Menjengkelkan
|
13,33
60
0
6,67
20
|
22.22
44.44
11.11
11.11
11.11
|
22.73
31.82
13.64
13.64
18.18
|
14.29
85.71
0
0
0
|
4. Kemampuan Menyusun Rangkaian Cerita
Pada umumnya siswa menulis cerita
dengan rangkaian cerita yang runtut, tetapi ada juga yang menyusunnya secara
tidak lengkap misalnya cerita tidak ada bagian akhirnya. Selain itu ada juga
siswa yang menyusun cerita secara lengkap tetapi tidak runtut. Susunan
rangkaian cerita dengan urutan peristiwa yang lengkap dan runtut terlihat dalam
data berikut.
“Pada hari minggu saat aku berdiam diri, tiba-tiba ayah mengajaku
ke sawah …. Sebelum berangkat aku menyiapkan peralatan…. Di sawah aku … kamipun
beristirahat di gubuk…. Hari sudah sore kamipun pulang dengan rasa gembira
(HM1-Ya).
Penggalan cerita “Pergi Ke Sawah”
(HM 1- Ya) memuat rangkaian cerita yang runtut. Keruntutan ditandai oleh
penanda yang membedakan antara awal cerita, bagian tengah atu isi cerita, dan
bagian akhir cerita.
Pada cerita-cerita lainnya siswa
juga menggarap rangkaian cerita dengan urutan awal, tengah/isi cerita, dan
akhir cerita. Dalam bagian awal cerita umumnya diungkapkan suatu masalah yang
dialami atau disebabkan oleh salah satu tokoh dalam cerita tersebut.
Selanjutnya pada bagian tengah yang memuat isi cerita diungkapkan urutan
peristiwa yang melatarbelakangi tercapainya sutau alternatif pemecahan masalah.
Dan pada bagian akhir, cerita ditutup dengan penyajian alternatif pemecahan.
Sebagaimana terlihat dalam cerita”Kebaikan” (HM1-Sk).
Data karangan siswa menunjukkan
bahwa penggarapan rangkaian siswa menunjukkan bahwa penggarapan rangkaian
cerita dilakukan siswa dengan cara menentukan cerita menjadi bagian awal,
tengah/isi, dan pada bagian akhir. Untuk menunjang cerita baik cerita bagian
awal, isi, maupun bagian akhir, maka siswa menyusun urutan peristiwa yang
saling terkait dalam bentuk alur cerita sehingga membentuk cerita dengan bagian
awal yang berisi masalah yang dikemukakan penulis. Selanjutnya bagian tengah
atu isi cerita berisi urutan peristiwa yang menceritakan kejadian-kejadian yang
mendukung masalah yang diungkapkan pada bagian awal cerita. Kemudia pada bagia
akhir siswa baru mengemukakan alternatif pemecahan amalsah yang diuraikan
secara rinci sampai pada akhir cerita secara jelas.
Berdasarkan urutan peristiwa yang
ditunjang oleh penggarapan penokohan serta penggambaran latar cerita, diperoleh
hasil karangan yang baik. Sebagai contoh, berkaitan dengan penulisan cerita
dengan tema yang menuntut adanya masalah maka sebagian besar siswa sudah dapat
menentukan hal-hal yang menyebutkan suatu peristiwa dalam cerita itu tejadi.
Kalimat “Kejadian itu disebabkan oleh pak Diran yang sedang mabuk. Setiap hari
Pak Diran memang menghambur-hamburkan uangnya untuk mabuk-mabukkan,” bila
dikaitkan dengan judul cerita yakni “Tabrak Lari 1” (HM3-Wy) maka dapat
disimpulkan bahwa siswa sudah memahami bahwa suatu sebab maka akan diserai
suatu akibat yang ditimbulkannya.
Contoh di atas menggambarkan bahwa
kebiasaan Pak Diran yang suka mabuk-mabukkan dan menyetir mobil sambil mabuk
serta kebiasaan ngebut saat mengendarai mobil dapat menyebabkan suatu
kecelakaan yang bisa menyebabkan seseorang meninggal. Hal ini menunjukan
pemahaman siswa tentang fakta dan sebab-sebab suatu peristiwa. Hal serupa
ditemukan pada karangan siswa lainnya yakni karangan dengan tema yang memuat
masalah yang memperlihatkan hubungan sebab akibat sebagaimana dimuat dalm
cerita “Berakhirnya Sebuah Persahabatan”. Dalam cerita ini siswa menguraikan
bagaiman suatu pertengkaran kecil dua oran ggadis yang bersahabat menjadi
berakhir hanya karean campur tangan kedua orang tua sehingga pertengkaran
mereka mengakibatkan berakhirnya persahabatan keduanya.
Pada sisi lain, dasri cerita yang
dibuat siswa juga ditemukan urutan peristiwa yang menggambarkan kemampuan siswa
mengungkapkan ketepatan perlilaku yang dilakukansetiap tokoh, dala cerita
“Tabrak Lari 2” (HM2-Gt) diungkapkan suatu peristiwa tabrak lari yang
menyebabkan kematian seserong. Pada saat kejadian terdapat dua orang saksi
yakni anak yang bernama Agus dan Wanto. Melihat kejadian tersebut keduanya
merasa takut melihat korban yang terkapar sudah menjadi mayat. Namun, akhirnya
mereka memutuskan untuk menolong korban kecelakaan tersebut sebagaimana
tergambar dalam cuplikan berikut.
“….Kebetulan Agus dan Wanto baru pulang dari Anton. Merea melihat
kecelakaan itu dan mau menoling orang yang ditabrak. Ternyata orang yang
ditabrak meninggal dan Agus dan Wanto merasa takut …. Akan tetapi mereka
menahan takut itu…… (HM2-Gt).
Selain berkaitan dengan hal di
atas, siswa juga menulis cerita yang mengungkapkan urutan peristiwa yang saling
mendukung yang dilengkapi dengan dialog yang menunjang. Siswa menentukan
kejadian-kejadian yang didasarkan pada prediksinya tentang suatu cara yang
dapat digunakan sebagai jalan pemecahan dari masalah yang dihadapinya. Hal ini
dapat dilihat dlam cuplikan cerita petualang berjudul “Tersesat di Hutan”
seperti tetlihat dalam uraian berikut.
“Keesokan harinya mereka sepakat untuk pulang pagi hari karena
liburan telah usai….. mereka tersesat, Karena hutannya sangat lebat maka mereka
tidak bisa menemukan jalan ke luar hutan….. “Hai teman-teman aku sudah dapat
akal yaitu kelilingi saja hutan ini”, kata Yanto. “Setuju”, kada Didi dan
Andi…. Setelah itu mereka sampai kerumah mereka masing-masing (HM2-Sm).
Dari cerita HM2-Sm di atas,
tergambarkan bahwa penulis sudah dapat memprediksikan suatu tindakan yang harus
dilakukan oleh tokoh yakni tindakan yangakan mengasilkan suatu pemecahan
masalah yang diyakini dapat berhasil.
Berdasarkan urutan di atas dapat
disimpulkan bahwa dalam menulis cerita siswa dapat menyebutkan fakta-fakta,
menentukan sebab-sebab suatu peristiwa, menentukan tepat tidaknya keputusan
dalam menentukan urutan-urutan kejadian menentukan serta menyusun peristiwa
dalam suatu rangkaian cerita secara lengkap.
Dengan demikian saat menulis
cerita-cerita di atas secara tidak langsung siswa sudah memperlihatkan
kemampuan yang mengarahkan pada proses berpikir. Pada saat proses menulis
cerita dandari hasil karangan siswa, terlihat bahwa saat tulisannya menyebutkan
fakta, menentukan sebab-sebab suatu peristiwa dalam suatu rangkaian cerita
secara lengkap. Proses berpikir kritis juga terlihat saat siswa menentukan
tepat tidaknya keputusan yang diambil pelaku (HM2-Sm).
Ketepatan prediksi siswa dalam
menentukan urutan kejadian-kejadian dalam cerita yang ditulisnya juga
memberikan gambaran apakah mereka melakukan proses berpikir prediktif. Pada
akhirnya proses berpikir kreatif siswa juga dapat dilihat dari kreativitas
siswa menususn hubungan sebab akibat dalam peristiwa yang disusun dalam
rangkaian peristiwa cerita.
Kemampuan siswa menentukan
penggarapan rangkaian cerita dapat dilihat dalam tabel 9 berikut ini.
Kemampuan
Siswa Menentukan Penggarapan Rangkaian Cerita
No
|
Kategori Kemampuan
|
Jumlah siswa (%)
|
|||
Siklus
I
|
Siklus
II
|
Siklus
III
|
Siklus IV
|
||
1
|
Tidak
lengkap
|
9.52
|
5
|
0
|
0
|
2
|
Tidak
runtut
|
0
|
10
|
0
|
0
|
3
|
Runtut
dan lengkap
|
90.48
|
85
|
100
|
100
|
Kesimpulan
1. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran menulis cerita
berdasarkan GWP terwujud berkat terciptanya peristiwa pembelajaran sebagai
suatu bentuk interaksi sosial budaya secara optimal. Peristiwa pembelajaran
demikian ditandai oleh guru sebagai designer, motivator, fasilitator,
evaluator, model, guider, dan instruktur. Lebih dari itu guru juga berperan
sebagai stimulan yakni sebagai penghadir gejala ataupun fakta berkenaan dengan
suatu yang harus depelajari siswa. Fakta/gejala yang dihadirkan tadi berupa cerita
sebagai model, chart sebagai media, gambaran dari sesuatu yang akan digarap,
dan pemilihan fokus pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Selain itu, guru juga berperan sebagai penghubung antara dunia pengalaman
anakdengan sesuatu/dunia yang akan merka pelajari. Keseluruhan peran guru di
atas merupakan dasar terciptanya proses pembelajaran secara kolaboratif,
kooperati, dan maksimalisasi peran guru sebagai pembimbing yang berperan aktif
dalam guided participation. Dalam hal ini guru berperan sebagai scaffolding
bagi siswa dalam mencapai pamahaman, pengetahuan, dan keterampilan belajarnya,
dalam hal ini keterampilan menulis.
2. Ditinjau dari segi siswa, keberhasilan di atas terbentuk oleh
terdapatnya kesesuaian antara fakta, gejala atau sesuatu yang dipelajari dengan
tingkat perkembangan sosial-budaya anak. Terdapatnya kesesuaian tersebut
memberi peluang terjadinya internalisasi berkenaan dengan sesuatu pengetahuan
dan pengalaman yang dimiliki, dan kombinasi dari sesuatu yang dipelajari secara
utuh. Dalam konteks ini keterampilan yang dimaksud adalah ketarampilan menulis
cerita.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: Rineksa Cipta.
Baskoff, Florence. 1975. “A Writing Laboratory for Beginning
Student of English”. The Art of TESOL English Teaching Forum Part Two.
Wasington, DC. Vol. XII Numbers 3 & 4: 227-232.
Dawud, Nurhadi, Pratiwi Yuni. 2002. Bahasa Indonesia untuk SMP
Kelas VII. Jakarta:Erlangga.