Sabtu, 31 Maret 2018

Peningkatan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
JURNAL PENA INDONESIA
Jurnal Bahasa dan Sastra  Indonesia serta pengajarannya
Peningkatan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia dalam bidang karang-mengarang dengan diterapkannya pembelajaran terbimbing pada siswa kelas  VII SMP Santo Yosef.

Naning Utami
SMP Santo Yosef (MGMP Surabaya Selatan)
Telepon : 085101387929

Abstrak
Pelajaran mengarang sebenarnya sangat penting diberikan kepada murid untuk melatih menggunakan bahasa secara aktif. Sekolah kita pada umumnya agak mengabaikan pelajaran mengarang. Materi ujian yang bersifat teoritis dapat menimbulkan motivasi guru bahasa mengajarkan materi mengarang hanya untuk dapat menjawab soal-soal ujian, sementara aspek keterampilan diabaikan. Di samping hal-hal tersebut di atas ada asumsi sebagian guru yang menganggap tugas mengarang yang diberikan kepada siswa terlalu memberatkan atau tugas itu terlalu berat untuk siswa, sehingga ia merasa kasihan memberikan beban berat tersebut kepada siswanya. Berdasarkan paparan tersebut di atas maka peneliti ingin mencoba melakukan penelitian dengan judul “Meningkatkan Prestasi Belajar Mengarang Bahasa Indonesia dengan Metode Pembelajaran Terbimbing Pada Siswa Kelas VII SMP Santo Yosef  Surbaya”.
Kata kunci : Mengarang itu penting.


PENDAHULUAN          
            Peningkatan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia dalam bidang karang-mengarang dengan diterapkannya pembelajaran terbimbing pada siswa kelas  VII SMP Santo Yosef.
            Pelajaran mengarang sebenarnya sangat penting diberikan kepada murid untuk melatih menggunakan bahasa secara aktif. Di samping itu pengajaran mengarang di dalamnya secara otomatis mencakup banyak unsur kebahasaan termasuk kosa kata dan keterampilan penggunaan bahasa itu sendiri dalam bentuk bahasa tulis. Akan tetapi dalam hal ini guru bahasa Indonesia dihadapkan pada dua masalah yang sangat dilematis. Di satu sisi guru bahasa harus dapat menyelesaikan target kurikulum yang harus dicapai dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Sementara di sisi lain porsi waktu yang disediakan untuk pelajaran mengarang relatif terbatas, padahal untuk pelajaran mengarang seharusnya dibutuhkan waktu yang cukup panjang, karena diperlukan latihan-latihan yang cukup untuk memberikan siswa dalam karang-mengarang. Dari dua persoalan tersebut kiranya dibutuhkan kreatifitas guru untuk mengatur sedemikian rupa sehingga materi pelajaran mengarang dapat diberikan semaksimal mungkin dengan tidak mengesampingkan materi yang lain.
Sekolah kita pada umumnya agak mengabaikan pelajaran mengarang. Ada beberapa faktor penyebabnya yaitu, (1) sistem ujian yang biasanya menjabarkan soal-soal yang sebagian besar besifat teoritis, (2) kelas yang terlalu besar dengan jumlah murid berkisar antara tiga puluh enam sampai empat puluh dua orang.
Materi ujian yang bersifat teoritis dapat menimbulkan motivasi guru bahasa mengajarkan materi mengarang hanya untuk dapat menjawab soal-soal ujian, sementara aspek keterampilan diabaikan. Sedangkan dengan kelas yang besar konsekuensi biasanya guru enggan memberikan pelajaran mengarang, karena ia harus memeriksa karangan murid-muridnya yang berjumlah mencapai empat puluh dua lembar, kadang hal itu masih harus berhadapan dengan tulisan-tulisan siswa yang notabene sulit dibaca. Belum lagi ia harus mengajar lebih dari satu kelas, berarti yang harus diperiksa empat puluh kali sekian lembar karangan. Oleh karena itu, tidak jarang guru yang menyuruh muridnya mengarang hanya sebulan sekali atau bahkan sampai berbulan-bulan.
Di samping hal-hal tersebut di atas ada asumsi sebagian guru yang menganggap tugas mengarang yang diberikan kepada siswa terlalu memberatkan atau tugas itu terlalu berat untuk siswa, sehingga ia merasa kasihan memberikan beban berat tersebut kepada siswanya. Ia terlalu pesimis dengan kemampuan muridnya. Asumsi tersebut tidak bisa dibenarkan, karena justru dengan seringnya latihan-latihan yang diberikan akan membuat siswa terbiasa dengan hal itu. Kita tahu bahwa ketrampilan berbahasa akan dapat dicapai dengan baik bila dibiasakan. Kalau guru selalu dihantui oleh perasaan ini dan itu, bagaimana muridnya akan terbiasa menggunakan bahasa dengan sebaik-baiknya?
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:1.    Seberapa jauh peningkatan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia dalam bidang karang-mengarang dengan diterapkannya pembelajaran terbimbing pada siswa kelas  VII SMP Santo Yosef?
2. Bagaimanakah pengaruh model pembelajaran terbimbing terhadap motivasi belajar bahasa Indonesia dalam bidang karang-mengarang siswa kelas VII SMP Santo Yosef Surabaya?
Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1.         Mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkannya pembelajaran terbimbing pada siswa kelas VII SMP Santo Yosef Surabaya.
2.         Mengetahui pengaruh motivasi belajar siswa setelah diterapkan pembelajaran terbimbing pada siswa kelas VII SMP Santo Yosef Surabaya.
Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi:
1.         Sekolah sebagai penentu kebijakan dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
2.         Guru, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan metode pembelajaran yang dapat memberikan manfaat bagi siswa.
Temuan Penelitian
Prosedur PMC berdasarkan GWP dari sklus I sampai IV mengalami perubahan dan pengembangan. Perefleksian oleh peneliti dan praktisi menghasilkan pengembangan berkitan dengan (1) pemberian model bacaan, (2) penyediaan dan pemodifikasian media chart, (3) pengubahan urutan pemberian pengubahan dan pengerjaan chart, dan (4) pengubahan strategi belajar. Sebagai contoh setelah dilakukan pelaksanaan tindakan siklus I diperoleh temuan sebagaimana terlihat pada tabel 3. Poses memahamkan empat elemen SC dalam 4 pertemuan dengan membaca MC yang sama menyebabkan pemahaman dan kemampuan menulis siswa terpotong-potong. Karena itu, pda siklus II dan III proses pembelajaran dilakukan dalam dua tahap. Untuk kebutuhan praktis juga maka ringkasan proses tindakan ini tidak akan dijelaskan lebih lanjut dan hanya akan diruraikan siklus I, III dan IV saja sebagaimana terlihat pada tabel 3, 4 dan tabel 5 di bawah ini. Namun, penyusunan dan pelaksanaan rancangan tindakan yang dilakukan didasarkan pada fakta empiris dan hasil refleksi setiap siklus. Masing-masing siklus mendasari perubahan dan perencanaan pada siklus berikutnya. Pada siklus IV siswa sudah dianggap mampu menulis cerita melalui prosedur PMC berdasarkan GWP yang telah mengalami penyempurnaan berdasarkan temuan fakta dan refleksi siklus I sampai II.
PEMBAHASAN  Guided Writing Procedure (GWP)    
Pemahaman dan Penentuan Tema Cerita
Paparan hasil PMC berdasarkan GWP di fokuskan pada deskripsi yang berkaitan dengan kemampuan menentukan SC meliputi (1) tema cerita, (2) pelaku dan perwatakan, (3) latar cerita, dan (4) penyusunan rangkaian cerita. Perkembangan kemampuan ini terlihat dari siklus I sampai siklus IV dengan gambaran hasil sebagai berikut.
Pada siklus I sampai IV ada kecenderungan bahwa siswa sudah memahami penggarapan SC melalui kegiatan membaca model dan menelaah penggarapan SC dalam model. Ini menbuktikan adanya internalisasi siswa dengan teks bacaan.
Kemampuan menentukan tema cerita dan pengembangannya pada siklus I terlihat masih meniru model (33,33%. Peniruan dilakukan dengan varisasi yang berbeda. Ada siswa yang meniru tema secara utuh dengan tema, judul, penokohan, latar, danrangakian cerita yang sama sebagaimana terlihat dalam data berikut.
“Lingkungan Sekolah”
Pada hari sabtu anak kelas 7 ditugaskan oleh ibu guru untuk kerja bakti … Ajat adalah anak terbandel di kelasnya… Pada waktu kerja Ajlvin mengganggu Rutha …. Alvin mendengarkan Pak Suafi waktu pelajaran Agma. 2 jam sesudah pelajaran Agama Alvin sadar … ia menyesal atas perbuatannya. (HM1-Wh).
Dari ringkasan cerita di atas terlihat siswa menulis cerita dengan tema, penokohan, latar, dan rangkaian cerita denganmeniru model cerita 1 (MC1) sebagai berikut.
“Di kalangan teman-temannya Imron terkenal bandel … mereka harus bekerja membersihkan lingkungan sekolah … dengan geramnya Imron mencabut bunga mawar yang di tanam Reni … guru Agama yaitu Pak Mustaqim menjelaskan tentang tata cara bergaul yang baik … tanpa diduga Imron maju ke depan kelas. “Teman-teman maafkan saya” …
Meskipun ada peniruan, 57, 14% siswa dapat menentukan tema berdasarkan ide sendiri seperti terlihat dalam cluster berikut walaupun masih dalam bentuk yang sederhana.
Saya pergi liburan naik kelas
               Awal       Piknik ke Jakarta                      Akhir
Saya dan saudara pergi ke Ancol              
                                                                                                                Isi            Saya pulang bersama
 


Makan pop mie             di Ancol saya berenang              saya juga pergi ke Sea World.

Cerita-cerita lain “Pergi ke Kebun Binatang” (HM1-Ye) cerita berkisah tentang pengalaman siswa pergi rekreasi ke kebun binatang bersama teman-temannya dan guru-guru. Cerita disisipi dengan rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan tokoh antagonis. Walaupun tema dan alur cerita berbeda namun siswa menulis cerita dengan meniru penggarapan pelaku. Begitu juga dengan “Anak Yang Sombong (HM1-An) dan Piknik ke Jakarta (HM1-Hy) walaupun bercerita tentang pengalaman berdarmasiwasata atupun situasi saat mendapat teman baru namun selalu disertai perwatakan pelaku yang nakal atau bandel lain halnya dengan cerita “Keajaiban (HM1-Gt) dan “Perlawanan Masyarakat Banten terhadap Penjajah (HM1-Sm) masing-masing siswa mengembangkan ide dan fantasinya dengan baik. HM1-Gt mengisahkan tentang keajaiban yang ditimbulkan oleh sebuah pedang ajaib yang bisa menghilangkan kutukan yang diterima seorang putri. Sementara siswa yang menulis HM1-Sm mencoba menuangkan pengetahuan sejarah yang dimilikinya dengan menambahkan unsur imajinasi yang membuat cerita menjadi lebih padu.
Terdapatnya cerita seperti di atas menunjukan bahwa dalam menulis cerita siswa dipengaruhi olehhasil kegiatan membaca dan juga didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman yang dipadu dengan kemampuan mengembangkan imajinasinya sebagaimana terlihat dalam data berikut.
Doom 2 sedang mengendarai mobil antik tiba-tiba dihadang oleh monster berkepala banteng  … Doom 2 terperosik ke ruamh tua yang ada tentara Nazi. Nazi adalah tentara komunis Jerman Hitler Adolf (penulisan Hitler Adolf diperbaiki siswa pd tahap refisi (HM1 – Al)).
Sementara itu 4,76% siswa telah dpat menulis cerita berdasarkan ide sendiri. Namun, isi cerita berdasarkan ide sendiri. Namun, isi cerita yang ditulis ternyata tidak memiliki kesesuaian isi dengan tema yang telah mereka tentukan. Cerita-cerita tersebut antara lain “Pagi Yang Cerah” (HM1 –Ag) dan “Menanam Bersama di Sekolah” (HM1-Sk). Dalam cerita itu siswa mencoba mengungkapkan pengalaman mereka berkaitan dengan kisah yang dialami di lingkungan keluarga dan teman.
Tema cerita yang ditulis siswa pda siklus I sampai IV antara lain lingkungan keluarga, teman sekolah, dan teman bermain, keindahan alam, berteman, dan cara-cara mengahadapi masalah manusiawi. Juga ditemukan cerita sejarah, fantasi, binatang, cerita horror, petualangan, dan misteri seperti terlihat dalam data berikut.
“Aryati sedang bermain di laut, dia bersedih karena berambut hitam … dia ingin berambut pirang. Tiba-tiba datang seorang peri dan berkata”jangan bersedih gadis kecil. Ini aku beri mahkota …. (HM 2-Nn).
Cerita fantasi dalam HM 2-Nn menggambarkan kemampuan siswa mengembangkan imajinasinya. Siswa juga mampu menggambarkan bagaimana memberi dan menerima kasih sayang terhadap binatang serta kisah binatang yang seolah-olah berperilaku seperti manusia berikut ini.
“Pada suatu waktu di rumah, tikus desa dan tikus kota sedang menyapu halaman … tikus kaya memamerkan kekayaannya… (HM 3-An).
Dalam modeling (imitating written sample) (Myers dan Grey dalam Norton, 1994: 144), siswa melakukan kegiatan membaca model tulisan. Banyak pendekatan pembelajaran menulis menyediakan model tulisan orang dewasa sebagai model tulisan bagi anak. Model cerita diberikan kepada anak beberapa kali sampai pada akhirnya anak dapat menulis cerita berdasarkan model yang dibuatnya sendiri (Blakburn, 1982). Pada awalnya anak dapat menulis cerita berdasarkan peniruan pada model yang diterapkan dalam variasi bahasa sendiri, menulis cerita dengan meniru penokohan yang ada dalam cerita, atau meniru pengorganisasian tulisan model dengan mengganti topoiknya sampai pada akhirnya dapat menulis cerita berdasarkan modelnya sendiri. Hal ini dilakukan sebelum memiliki keterampilan untuk berpikir terus-menerus. Kemampuan siswa menentukan tema cerita terlihat dalam tabel berikut.
Kemampuan Siswa Menentukan Penggarapan Tema Cerita
No
Kategori Kemampuan
Jumlah Siswa (%)
Siklus I
Siklus II
Siklus III
Siklus IV
1
Meniru Model
33,33
25,00
0,00
0,00
2
Menceritakan kembali isi cerita yang pernah dibaca
4,76
10,00
5,56
0,00
3
Tema tidak sesuai dengan isi karangan
4,76
0,00
0,00
0,00
4
Ide sendiri, isis cerita sesuai tema
57,14
65,00
94,00
100,00

2.  Kemampuan Penggarapan Pelaku dan Perwatakan
Berdasarkan hasil karangan siswa, diperoleh data bahwa 9,52% siswa menetukan variasi pelaku dan perwatakannya hanya dengan menyebutkan pelaku yang antagonis dan protagonis tanpa memberikan penjelasan dan penggambaran wataknya. Namun pada siklus ini pada dasarkan 19,05% siswa menggambarkan perwatakan pelaku dalam MC yang dibaca siswa (47,62%) terlihat dalam data berikut.
“Pada waktu di kelas Titin mencuri penggaris karena Titin dendam kepada Rina (HM1-An).
Sifat tokoh Titin dlam HM1-An sama dengan tokoh Imron dalam model cerita I (MC 1) beriktu ini.
“Di kalangan teman-temannya Imron tekenal bandel….. Seorang teman purtinya menangis terisak-isak karena penggarisnya disembunyikan Imron.”
Pada dasarnya adanya penokohan dalam cerita yang ditulis siswa didasarkan pada pemahaman mereka bahwa dalam cerita selain tokoh baik ada juga tokoh yang jahat/tidak baik. Siswa menjelaskannya melalui dialog dan lakuan (gambaran perilaku). Sebagaimana terlihat dalam data berikut.
“Laila menasehti Ani …. Ani membantah, ia bilang untuk apa bertanya. Laila pun tak mau kalah … Ani pun mengambil pengaris dan memukulkannya kepada Laila. Laila pun menangis. (HM 3-E1).”
Hal yang sama telihat dalam HM1-Ye berikut ini.
“Apakah kamu mau memberikan makanan untuk kera itu?, Tanya Titi. “Apa, aku memberimu makanan kera? Ha … ha … ha ….” Jangan begitu, kalau tidak mau memberi ya sudah.” ….. lalu Didi memukul Titi…… (HM 2-Ye).
Perwatakan pelaku juga dilakukan siswa melalui penggambaran penampilan pelaku berikut ini.
“Putri akan dinikahkan dengan pangeran, sungguh pasangan yang cocok. Purti cantik dan anggun dan juga baik hati dan pangeran tampan juga gagah perkasa. (HM 1-Yt).
Pada siklus II kemampuan siswa menggambarkan watak pelaku melalui keadaan fisik dan lingkungannya dapat terlihat dalam cerita Hantu Jadi-jadian (HM2-Gt) berikut ini.
“Pak Bambang tiba-tiba mencium bau belerang ….. di balik pepohonan tiba-tiba muncul orang laki-laki berbaju putih berambut panjang, matanya berwarna hitam…… laki-laki itu adalah hantu jadi-jadian yang dibunuh di hutan …… (HM 2-Gt).
Melalui penampilan yang digambarkan, siswa ingin mengungkapkan bahwa hantu jadi-jadian adalah sosok yang menakutkan sebagaimana juga terlihat dalam cuplikan berikut.
“ ………. Tanganya panjanng, kukunya panjang wajahnya seperti monster, rambutnya panjang matanya merah, dan tidak berkaki……… (HM 3-As).
Selain watak tokoh yang baik dan jahat, siswa menggambarkan tokoh penakut melalui dialog seperti terlihat dalam data berikut.
“Rudi pun mencari dombanya kesemak-semak bertemu laki-laki bermata seram…..” I….i ….iya,” kata Rudi ….. “Tu ….. tunggu, apa kesalahan saya hingga anda akan mengubah saya menjadi Domba”, Kata Rudi (HM3-Krt).
Pada siklus IV data karangan siswa menunjukkan adanya penggambaran watak pelaku melalui hal-hal yang dipikirkan pelaku sebagai berikut.
“Saya sekarang tahu bahwa sudah biasa menabung. Tapi yang saya bingungkan mengapa aku menabung untuk apa uangnya ya?”Waduh saya kok lupa bahwa saya harus menjemput ayah ke airport”, kata saya dalam hati (HM 4-Nn).
Namun siswa tidak tahu kalau dia melakukan penggarapan dengan cara di atas karena sati kegiatan konferensi dilakukan diketahui ia menulisnya. Adapun perkembangan kemampuan siswa menentukan pelaku dan perwatakannya dapat dilihat dalam table 7 berikut.
Kemampuan Siswa Menentukan Penggarapan Pelaku dan Penokohan
No
Kategori
Jumlah Siswa  (%)
Siklus I
Siklus II
Siklus III
Siklus IV
1
Tidak ada penggarapan perwatakan pelaku. Hanya ada pelaku yang baik dan jahat.
9,52
5,00
0,00
0,00
2
Penggarapan perwatakan pelaku dengan meniru model
47,62
20,00
0,00
0,00
3
Melalui pengungkapan hal-hal yang diucapkan pelaku (dialog).
23,81
25,00
33,33
50,00
4
Melalui penggambaran perilaku tokoh (lakuan ).
19,05
35,00
38,89
43,75
5
Melalui penggambaran fisik pelaku/lingkungan tempat pelaku berada.
0,00
15,00
16,67
0,00
6
Melalui penggambaran tentang hal-hal yang dipikirkan pelaku.
0,00
0,00
11,11
6,25
 
3.   Kemampuan Penggarapan Latar Cerita
Berdasarkan hasil karangan siswa diperoleh temuan bahwa siswa sudah memiliki pemahaman latar cerita dan kemampuan menggarap latar cerita dalam cerita yang ditulisnya. Berkaitan dengan latar cerita, penggarapan dibedakan menjadi tiga yakni latar tempat, waktu, dan suasana cerita. Penggarapan latar tempat dilakukan siswa dengan menggambarkan keadaan tempat sesuai dengan tema cerita, ada tempat yang nyata ada juga yang unik/fiktif seperti telihat dalam data berikut.
“Ada sebuah rumah yang mewah dan bertingkat. Rumah itu dihuni oleh Amir ….. (HM1-Ye).
Kata “mewah” dan “bertingkat” menunjukan latar tempat berupa sebuah rumah dalam keadaan yang sesuai dengan apa yang siswa maksudkan, bukanlah rumah yang gubuk yang kecil tetapi sangat mewah. Untuk jenis cerita fantasi siswa menetapkan latar tempat secara unik/fiktif seperti dalam data berikut.
“Pada jaman dahulu ada sebuahpuri yang megah. Puri tersebut dinamakan istama mebe (HM1-Nn).
Penentuan “Puri” dan “mebel” menunjukan imajinasi dan kreativitas siwa dalam menentukan latar tempat sesuai cerita yang ditulisnya.
Sementara itu menentukan latar waktu terbagi menjadi periode waktu masa sekarang dengan variasi periode waktu pagi hari, siang, dan sore/malam hari.
“Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, kini Andi dan Suci telh besar (HM1-Krt).
“Pada hari Sabtu sepulang dari Gresik saya pulang ke Jakarta. Saya berangkat pada siang hari ….. (HM1-Hy).
Lebih lengkapnya untuk latar waktu masa sekarang dengan periode di atas dapat dilihat dalam data berikut.
“Pada hari Minggu saya pergi ke kebun binatang dan ke Kenjeran. Berangkatnya jam 08.00 pagi (HM3-Hy).
“Pada malam hari saat malam bulan purnama tiba-tiba telur jatuh di atas tikus (HM3-Rn).
“Pada hari Kamis malam Jum’at Kliwon ada sebuah benda jatuh dari langit….. (MH3-As).
Didasarkan pada tema-tema fantastis yang biasanya terjadi di masa lampau maka siwa menggunakan latar waktu sebagai berikut.
“Pada jaman dahulu ada sebuah puri namanya puri mebel (HM2-Nn).
“Pada jaman dahulu kala hewan dapat berbicara. Ada hewan yang bermusuhan yaitu elang dan tikus (HM3-Yg).
Berkaitan dengan penentuan suasana cerita, dari siklus I sampai IV terlihat adanya suasana cerita yang variatf. Variasi suasana penetapan cerita tersebut meliputi cerita dengan suasana menyedihkan, menggembirakan, menakutkan, menjengkelkan, dan misterius. Kemampuan siswa menentukan latar cerita ini dapat dilihat dalam tabel 8.
Kemampuan Siswa Menetukan Penggarapan Latar Cerita
No
Kategori Kemampuan
Jumlah Siswa (%)
Siklus I
Siklus II
Siklus
 III
Siklus IV
1
Tempat
1.1  Nyata
  1. Penggambaran keadaan tempat
  2. Penyebutan tempat tanpa penggambaran
1.2 Unik/Fiktif

76,47
9,52

90,48
23,53

85.00
25.00

75.00
15.00

89.47
33.33

66.67
10.53

97.74
0.00

100
5.26
2
Periode Waktu
2.2  Masa sekarang: pagi, siang, sore hari
2.2  Zaman dahulu
2.3  Masa yang akan datang

76,19
19,05
4,76

66.67
27.78
5.56

84.21
15.79
0

94.12
5.88
0
3
Suasana
3.1 Sedih
3.2 Gembira
3.3 Menakutkan
3.4. Misterius
3.5 Menjengkelkan

13,33
60
0
6,67
20

22.22
44.44
11.11
11.11
11.11

22.73
31.82
13.64
13.64
18.18

14.29
85.71
0
0
0

4.   Kemampuan Menyusun Rangkaian Cerita
Pada umumnya siswa menulis cerita dengan rangkaian cerita yang runtut, tetapi ada juga yang menyusunnya secara tidak lengkap misalnya cerita tidak ada bagian akhirnya. Selain itu ada juga siswa yang menyusun cerita secara lengkap tetapi tidak runtut. Susunan rangkaian cerita dengan urutan peristiwa yang lengkap dan runtut terlihat dalam data berikut.
“Pada hari minggu saat aku berdiam diri, tiba-tiba ayah mengajaku ke sawah …. Sebelum berangkat aku menyiapkan peralatan…. Di sawah aku … kamipun beristirahat di gubuk…. Hari sudah sore kamipun pulang dengan rasa gembira (HM1-Ya).
Penggalan cerita “Pergi Ke Sawah” (HM 1- Ya) memuat rangkaian cerita yang runtut. Keruntutan ditandai oleh penanda yang membedakan antara awal cerita, bagian tengah atu isi cerita, dan bagian akhir cerita.
Pada cerita-cerita lainnya siswa juga menggarap rangkaian cerita dengan urutan awal, tengah/isi cerita, dan akhir cerita. Dalam bagian awal cerita umumnya diungkapkan suatu masalah yang dialami atau disebabkan oleh salah satu tokoh dalam cerita tersebut. Selanjutnya pada bagian tengah yang memuat isi cerita diungkapkan urutan peristiwa yang melatarbelakangi tercapainya sutau alternatif pemecahan masalah. Dan pada bagian akhir, cerita ditutup dengan penyajian alternatif pemecahan. Sebagaimana terlihat dalam cerita”Kebaikan” (HM1-Sk).
Data karangan siswa menunjukkan bahwa penggarapan rangkaian siswa menunjukkan bahwa penggarapan rangkaian cerita dilakukan siswa dengan cara menentukan cerita menjadi bagian awal, tengah/isi, dan pada bagian akhir. Untuk menunjang cerita baik cerita bagian awal, isi, maupun bagian akhir, maka siswa menyusun urutan peristiwa yang saling terkait dalam bentuk alur cerita sehingga membentuk cerita dengan bagian awal yang berisi masalah yang dikemukakan penulis. Selanjutnya bagian tengah atu isi cerita berisi urutan peristiwa yang menceritakan kejadian-kejadian yang mendukung masalah yang diungkapkan pada bagian awal cerita. Kemudia pada bagia akhir siswa baru mengemukakan alternatif pemecahan amalsah yang diuraikan secara rinci sampai pada akhir cerita secara jelas.
Berdasarkan urutan peristiwa yang ditunjang oleh penggarapan penokohan serta penggambaran latar cerita, diperoleh hasil karangan yang baik. Sebagai contoh, berkaitan dengan penulisan cerita dengan tema yang menuntut adanya masalah maka sebagian besar siswa sudah dapat menentukan hal-hal yang menyebutkan suatu peristiwa dalam cerita itu tejadi. Kalimat “Kejadian itu disebabkan oleh pak Diran yang sedang mabuk. Setiap hari Pak Diran memang menghambur-hamburkan uangnya untuk mabuk-mabukkan,” bila dikaitkan dengan judul cerita yakni “Tabrak Lari 1” (HM3-Wy) maka dapat disimpulkan bahwa siswa sudah memahami bahwa suatu sebab maka akan diserai suatu akibat yang ditimbulkannya.
Contoh di atas menggambarkan bahwa kebiasaan Pak Diran yang suka mabuk-mabukkan dan menyetir mobil sambil mabuk serta kebiasaan ngebut saat mengendarai mobil dapat menyebabkan suatu kecelakaan yang bisa menyebabkan seseorang meninggal. Hal ini menunjukan pemahaman siswa tentang fakta dan sebab-sebab suatu peristiwa. Hal serupa ditemukan pada karangan siswa lainnya yakni karangan dengan tema yang memuat masalah yang memperlihatkan hubungan sebab akibat sebagaimana dimuat dalm cerita “Berakhirnya Sebuah Persahabatan”. Dalam cerita ini siswa menguraikan bagaiman suatu pertengkaran kecil dua oran ggadis yang bersahabat menjadi berakhir hanya karean campur tangan kedua orang tua sehingga pertengkaran mereka mengakibatkan berakhirnya persahabatan keduanya.
Pada sisi lain, dasri cerita yang dibuat siswa juga ditemukan urutan peristiwa yang menggambarkan kemampuan siswa mengungkapkan ketepatan perlilaku yang dilakukansetiap tokoh, dala cerita “Tabrak Lari 2” (HM2-Gt) diungkapkan suatu peristiwa tabrak lari yang menyebabkan kematian seserong. Pada saat kejadian terdapat dua orang saksi yakni anak yang bernama Agus dan Wanto. Melihat kejadian tersebut keduanya merasa takut melihat korban yang terkapar sudah menjadi mayat. Namun, akhirnya mereka memutuskan untuk menolong korban kecelakaan tersebut sebagaimana tergambar dalam cuplikan berikut.
“….Kebetulan Agus dan Wanto baru pulang dari Anton. Merea melihat kecelakaan itu dan mau menoling orang yang ditabrak. Ternyata orang yang ditabrak meninggal dan Agus dan Wanto merasa takut …. Akan tetapi mereka menahan takut itu…… (HM2-Gt).
Selain berkaitan dengan hal di atas, siswa juga menulis cerita yang mengungkapkan urutan peristiwa yang saling mendukung yang dilengkapi dengan dialog yang menunjang. Siswa menentukan kejadian-kejadian yang didasarkan pada prediksinya tentang suatu cara yang dapat digunakan sebagai jalan pemecahan dari masalah yang dihadapinya. Hal ini dapat dilihat dlam cuplikan cerita petualang berjudul “Tersesat di Hutan” seperti tetlihat dalam uraian berikut.
“Keesokan harinya mereka sepakat untuk pulang pagi hari karena liburan telah usai….. mereka tersesat, Karena hutannya sangat lebat maka mereka tidak bisa menemukan jalan ke luar hutan….. “Hai teman-teman aku sudah dapat akal yaitu kelilingi saja hutan ini”, kata Yanto. “Setuju”, kada Didi dan Andi…. Setelah itu mereka sampai kerumah mereka masing-masing (HM2-Sm).
Dari cerita HM2-Sm di atas, tergambarkan bahwa penulis sudah dapat memprediksikan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh tokoh yakni tindakan yangakan mengasilkan suatu pemecahan masalah yang diyakini dapat berhasil.
Berdasarkan urutan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menulis cerita siswa dapat menyebutkan fakta-fakta, menentukan sebab-sebab suatu peristiwa, menentukan tepat tidaknya keputusan dalam menentukan urutan-urutan kejadian menentukan serta menyusun peristiwa dalam suatu rangkaian cerita secara lengkap.
Dengan demikian saat menulis cerita-cerita di atas secara tidak langsung siswa sudah memperlihatkan kemampuan yang mengarahkan pada proses berpikir. Pada saat proses menulis cerita dandari hasil karangan siswa, terlihat bahwa saat tulisannya menyebutkan fakta, menentukan sebab-sebab suatu peristiwa dalam suatu rangkaian cerita secara lengkap. Proses berpikir kritis juga terlihat saat siswa menentukan tepat tidaknya keputusan yang diambil pelaku (HM2-Sm).
Ketepatan prediksi siswa dalam menentukan urutan kejadian-kejadian dalam cerita yang ditulisnya juga memberikan gambaran apakah mereka melakukan proses berpikir prediktif. Pada akhirnya proses berpikir kreatif siswa juga dapat dilihat dari kreativitas siswa menususn hubungan sebab akibat dalam peristiwa yang disusun dalam rangkaian peristiwa cerita.
Kemampuan siswa menentukan penggarapan rangkaian cerita dapat dilihat dalam tabel 9 berikut ini.
Kemampuan Siswa Menentukan Penggarapan Rangkaian Cerita
No
Kategori Kemampuan
Jumlah siswa (%)
Siklus
I
Siklus
II
Siklus
 III
Siklus IV
1
Tidak lengkap
9.52
5
0
0
2
Tidak runtut
0
10
0
0
3
Runtut dan lengkap
90.48
85
100
100

Kesimpulan
1. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran menulis cerita berdasarkan GWP terwujud berkat terciptanya peristiwa pembelajaran sebagai suatu bentuk interaksi sosial budaya secara optimal. Peristiwa pembelajaran demikian ditandai oleh guru sebagai designer, motivator, fasilitator, evaluator, model, guider, dan instruktur. Lebih dari itu guru juga berperan sebagai stimulan yakni sebagai penghadir gejala ataupun fakta berkenaan dengan suatu yang harus depelajari siswa. Fakta/gejala yang dihadirkan tadi berupa cerita sebagai model, chart sebagai media, gambaran dari sesuatu yang akan digarap, dan pemilihan fokus pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Selain itu, guru juga berperan sebagai penghubung antara dunia pengalaman anakdengan sesuatu/dunia yang akan merka pelajari. Keseluruhan peran guru di atas merupakan dasar terciptanya proses pembelajaran secara kolaboratif, kooperati, dan maksimalisasi peran guru sebagai pembimbing yang berperan aktif dalam guided participation. Dalam hal ini guru berperan sebagai scaffolding bagi siswa dalam mencapai pamahaman, pengetahuan, dan keterampilan belajarnya, dalam hal ini keterampilan menulis.
2. Ditinjau dari segi siswa, keberhasilan di atas terbentuk oleh terdapatnya kesesuaian antara fakta, gejala atau sesuatu yang dipelajari dengan tingkat perkembangan sosial-budaya anak. Terdapatnya kesesuaian tersebut memberi peluang terjadinya internalisasi berkenaan dengan sesuatu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, dan kombinasi dari sesuatu yang dipelajari secara utuh. Dalam konteks ini keterampilan yang dimaksud adalah ketarampilan menulis cerita. 
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineksa Cipta.
Baskoff, Florence. 1975. “A Writing Laboratory for Beginning Student of English”. The Art of TESOL English Teaching Forum Part Two. Wasington, DC. Vol. XII Numbers 3 & 4: 227-232.
Dawud, Nurhadi, Pratiwi Yuni. 2002. Bahasa Indonesia untuk SMP Kelas VII.   Jakarta:Erlangga.