Sabtu, 21 Maret 2015

Cerpen Naning awal di Santo Yosef

  

Bertetangga terminal Bus antar kota sampai gedung bertingkat menjulang
Siang itu udara panas menyengat, aku - Naning Utami  turun dari angkot jalan sedikit ke arah barat masuk ke lingkungan SMP Santo Yosef Surabaya.  Baru masuk halaman sekolah seolah aku masuk sebuah penjara. Bangunan tertutup rapat  semua bertembok, tembok pembatas dengan kawat berduri. Hanya pintu gerbang saja yang terbuka, itu pun  dijaga oleh security. Pertama kali datang  ke Surabaya tahun 1986. Aku baru lulus dari Widya Mandala Madiun dengan gelar sarjana muda berbekal kesederhanaan dan keyakinan pasti berhasil aku melangkah menjadi guru. Sebetulnya banyak tawaran  untuk mengajar di beberapa sekolah, seperti ketika aku  ke Jakarta pernah mencoba ke Pangudi Luhur, SMP Wiyata  di Mojo Agung, SMP di Cepu, dan SMA Darma Wanita di Pare tempat kelahiranku.  Hati dan perasaanku mantap kalau bekerja di Surabaya. 
          Mulailah rapat awal tahun ajaran aku diundang untuk mengikutinya, tetapi sayang sekali Bundaku tercinta dipanggil Allah untuk selamanya. Jadi tak bisa mengikuti rapat. Selang dua hari aku masuk dan mulai mengajar. Aku merasa mengajar di tempat ini penuh tantangan. Mulai dari lokasi kelas yang dekat terminal dengan kebisingan suara bus-bus antar kota sampai klakson mobil angkutan dalam kota. Saat mulai menjelaskan ke para siswa harus benar-benar dapat mengatur waktu dengan tepat. Di kelas anak-anak yang besar-besar dibanding anak sekarang, kadang mereka usil. Apalagi aku  sebagai guru baru masih muda. Untuk menghadapi semua itu perlu ketegasan dan keramahan. Ternyata yang usil bukan hanya siswa saja tetapi juga orang-orang sekitar terminal maklum memang berada di dekat terminal ya  aku  harus bisa bersikap tegas tapi juga ramah. Ya dengan senyum dan keteguhan iman ternyata semua bisa diatasi.
          Tahun pertama Sr. Ernesta sebagai kepala sekolah aku  masih tenang dan enjoy dalam mengajar. Foto di atas saat aku selelai ultah Carolus  di Gereja. Tahun kedua aku melanjutkan untuk kuliah sore-malam hari dengan harapan suatu saat kalau menjadi guru tetap aku sudah berbekal ijazah sarjana. Hidup harus berjuang itu prinsipku. Tahun 1988  lulus dari IKIP dan wisuda. Saat itu Kepala Sekolah ganti Sr. Elisa. Semenjak Kepala Sekolah Sr. Elisa ini aku semakin semangat dalam mengajar dan inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran selalu kulakukan. Apalagi saat-saat tertentu Sr. Elisa mengajakku diskusi tentang pembelajaran, dalam urusan ke Diknas maupun ke lembaga lain. Diriku semakin tertantang untuk mencari status. Apalagi aku sudah lulus sarjana.
          Dua tahun, tiga tahun aku  menunggu dan berharap menjadi Guru Tetap. Kalau tinggal harapan pasti tak kunjung tiba. Aku tanyakan Sr. Elisa maupun Bapak Sujadi sebagai WK Kurikulum saat itu. Ternyata untukku Beliau menyarankan mengikuti tes PNS  saja mengingat aku Muslim. Ya aku juga tahu diri. Saran itu ku ikuti. Kebetulan nasib lagi baik. Selang beberapa bulan aku diberitahu dalam waktu satu minggu harus selesai mengurus surat-surat dan persyaratan untuk pendaftaran PNS sepertinya mustahil hanya dalam waktu seminggu semua surat harus jadi. Lumayan kalang kabut waktu itu. Karena aku berniat untuk mengikuti tes apapun kesulitan yang kuhadapi  harus ku tempuh. Padahal segala surat harus aku urus ke Madiun karena aku dari Madiun. Tak apalah memang harus berjuang dulu kalau ingin berhasil. Ternyata banyak untungnya juga sekolah bertetangga Terminal antar kota. Alhamdulillah perjuanganku tidak sia-sia. Mulai pemberkasan, tes, pra jabatan kulewati dengan baik. Penempatan saat itu bisa diminta di Santo Yosef.
Saat itu tahun 1989 aku menikah dengan seorang guru PNS (pegawai non stop). Aku sebut demikian karena beliau memang selalu bekerja-bekerja dan terus saja ada yang dikerjakan. Selang satu tahun aku punya anak tepat dengan tanggal penikahanku. Setelah satu bulan aku melahirkan aku pindah rumah meski kecil tenang rasanya sudah punya rumah sendiri, Tidak lagi di Pondok Mertua Indah. Dua tahun kemudian anak keduaku lahir. Ya bagaimana lagi mereka  harus di asuh oleh pembantu selama aku mengajar. Kehidupan rumah tanggaku menyenangkan, ekonomi cukup meski sekedar cukup untuk membayar pembantu, beli susu ngangsur rumah ya harus hidup sederhana. Aku ke sekolah / ke pangkalan angkot naik sepeda pancal. Sampai sekarang sepeda pancal itu masih kupelihara dengan baik, lumayan buat bersepeda ria di hari Minggu. Bahkan pembantuku pun tetap ikut aku selama 20 tahun ini.
Hari hari bersama para siswa kulalui dengan semangat. Aku berangkat sekolah pagi jam 5.40 pulang sore jam 16.00 bahkan kadang jam 18.00 saat itu jumlah siswa semua sekitar 1300 dengan kelas pagi-sore. Kepala Sekolah saat itu sudah berganti Bapak JC Sujadi. Beliau benar-benar pemimpin yang menyenangkan, bisa “ngayomi, mbapak i” dan tegas. Gedung bangunan jaman Belanda. Tembok yang tak pernah bisa dipaku. Bila mau pasang pigora atau gambar-gambar harus dibor dulu temboknya. Meski berlantai tegel abu-abu kondisinya selalu bersih. Tidak hanya pembantu pelaksana saja yang ikut menjaga kebersihan tapi semua warga sekolah. Bahkan yang paling seru kalau piket ada anak / siswa terlambat sampai 2x wah hadiahnya membantu membersihkan halaman /mengelap kaca perpustakaan. Meski dengan hadiah seperti itu baik siswa maupun  orang tua tidak ada yang protes. Tetapi mereka malah jera tidak terlambat lagi.
          Seiring kemajuan, gedung perpustakaan, aula pun dibangun dengan harapan semua kegiatan bisa dilakukan di sekolah, tanpa harus ke luar sekolah. Memang semua kegiatan tertampung dengan baik. Hasil ekstrakulikuler pun sering kali mendapat juara. Bahkan lomba Deklamasi, baca puisi dari masa mudaku hingga masa setengah abad ini selalu ada hasil. Rupanya Tuhan selalu melindungi dan mengabulkan doa-doaku. Jelas sekali perkembangan gedung dari tahun ke tahun semakin baik, bahkan saat ini tampak megah, bersih dan membuat para siswa betah masuk berlama-lama di sekolah. Tetapi sayang jumlah siswa semakin tahun semakin berkurang mulai dari kelas parallel 11 kelas sampai sekarang 4 kelas parallel 2010-2011. Sungguh sangat memprihatinkan. Kepemimpinan pun ganti Bapak Thomas Watoyo sebagai kepala sekolah yang waktu kuliah dulu kakak kelasku di Madiun.  Kemudian Pak Andreas Endro Kristijarso, dan yang terakhir ini adalah Bapak Peter Tura. Meski begitu tak terlalu bermasalah karena ruang-ruang yang dahulu untuk kelas sekarang digunakan laboratorium, ruang multi media, ruang doa, dan lain-lain yang jelas semakin lengkap.
Kalau dilihat dari mutu pendidikan mulai input yang rendah ke output sebetulnya bagus. Para alumnus juga tidak kalah dengan sekolah lain. Tapi mengapa semakin merosot? Apakah karena sekolah negeri sekarang serba gratis? Apakah promosi sekolah kurang? Apakah keluarga berencana berhasil? Inilah yang harus di perjuangkan oleh semua karyawan khususnya SMP Santo Yosef. Jangan sampai jumlah siswa terus merosot. Bagaimana nasib teman-teman selanjutnya. Ayolah semangat untuk berprestasi di tiap-tiap mata pelajaran. Karena itu salah satu daya tarik para siswa SD. Cari guru-guru yang bermutu, kreatif, aktif, ramah, santun, cerdas juga peka. Supaya kalau punya anak juga pandai sehingga anak-anak bangsa yang dididik dapat berhasil dengan baik. Bagiku punya anak-anak yang pandai itu luar biasa, anugerah, rahmat yang harus disyukuri. Aku bangga dengan anak-anakku, suamiku. Semua saling mendorong dalam belajar hingga aku menyelesaikan S2, anak-anakku juga dapat kuliah di ITS ,di Unair masuk melalui jalur SNMPTN dengan IP yang bagus. Bahkan aku bisa memberikan hadiah mobil, meski bukan mobil baru.  Aku kadang mencontohkan mereka pada para siswaku, bukan berarti nyombong tapi setidaknya bila ingin berhasil harus ada perjuangan dan doa. Doa orang tua kepada anaknya, doa guru buat murid-muridnya, doa karyawan buat yayasannya, dan demikian juga sebaliknya semua pasti ada imbasnya. Nah, ini foto selesai rekoleksi di Pacet, kira-kira tangan siapa ya yang ada di pundakku? Mulai dari kiri yang jongkok B Fitri, B Evi, P Heru, B Naning, B Diah, B Sita, B Retno, Bapak Peter.
SMP SANTO YOSEF sekarang tetap bertetangga dengan terminal Joyoboyo, meski begitu kami bukanlah orang-orang terminalan yang kasar, jahat, bandel, dan jelek-jelek lainnya. Dari tempat inilah aku sering kali mengajak para siswa untuk melongok jendela kelas, melihat, mengamati kehidupan terminal yang serba keras untuk diambil manfaatnya. Misalnya: “Mari anak-anak kita amati terminal di bawah sana kita cari hal-hal positif dari mereka”, ajakku suatu saat ketika mengajarkan menulis puisi, atau pada pembelajaran reportasi. Mengambil hal-hal positif dari contoh seperti itu ternyata tidak mudah, harus disertai “ular-ular” yang panjang. Pada waktu lain akupun menggunakan ruang multi media untuk memberikan tayangan-tayangan dalam pembelajaran, anak-anak sangat senang kalau sudah ku ajak ke luar atau ke ruang multi media. Karena ada saja hadiah yang kuberikan kalau mereka cepat selesai mengerjakan tugas, menayangkan film lucu misalnya, atau mengiringi dengan musik saat mereka menulis. Setelah menggunakan ruang multi kebetulan temanku tidak membawa Lap Top dia pinjam punyaku. Aku sudah memberitahu kalau perlu music pakai saja file yang music jangan yang lain. Eee ternyata saat maunya memberi hiburan anak-anak ternyata yang diklik MP3 wah, kontan semua bengong, tertawa.Jelas saja isinya ayat-ayat Al Quran. Ya harus minta maaf ke anak-anak dan segera menggantinya, baru ingat pesanku saat pinjam lap top.  Sekarang kondisi kelas sudah tidak sebising dahulu lagi. Gedung bertingkat membuat para penghuninya nyaman, semua menjadi sehat harus melatih kaki untuk naik turun tangga minimal tiga kali naik turun dalam sehari. Semua fasilitas lengkap meskipun kelas-kelas tanpa Air Conditioner. Di kota Surabaya yang panas ini bila pelajaran siang hari bagai masuk ruang sauna, meski ada dua kipas angin yang terus berputar tetapi tak bisa menjangkau semua ruang kelas. Lumayan semua menjadi sehat karena bisa berkeringat begitulah manfaat yang bisa kita ambil. Perjuangan demi perjuangan sudah aku lalui dengan baik. Yang perlu ditingkatkan lagi adalah perjuangan komunitas untuk menjadikan sekolah ini tetap favorit, jumlah murid kembali banyak ya meskipun tak sebanyak pertama kali aku masuk. Semoga semangat yang masih tersisa ini bisa membangkitkan kembali kejayaan masa lampau. Mari teman-teman mudaku bangkitkan semangatmu “tuk meraih hari esok yang lebih cemerlang. Harapan-harapan positif bila diwujudkan dengan usaha dan doa bersama pasti suatu saat akan terwujud, seperti harapan-harapanku saat pertama kali masuk sekolah ini. Sekarang sudah duapuluh lima tahun aku mengabdi di sekolah ini aku tinggal menikmatinya, tetap bergelut dengan siswa, buku, dan koreksian.


                                                          Oleh : Dra. Naning Utami, MM.
Cerpen ini juga di muat di "Dalam Dekapan Kangguru" pengantar dan editing Arswendo Atmowiloto.






1 komentar:

  1. Hello Bu Naning, apa kabar? Ini Leo murid ibu di smp st yosef, saya masuk tahun 1986 dan lulus tahun 1989, ibu sehat sehat kan?
    Salam buat semua guru st yosef.

    BalasHapus